Setahun sudah saya tidak bisa menghadiri acara Kenduri Cinta diakibatkan tugas kantor untuk mengikuti pendidikan yang waktunya Selasa dan Jumat malam selama satu tahun penuh. Padahal acara Kenduri Cinta ini selalu diadakan pada hari Jumat malam minggu kedua setiap bulannya. Akhirnya rasa rindu dan kangen itu dapat terpenuhi Jumat malam kemarin (9/02/07).
Bersama Apit, saya merasakan suasana Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki tidak berubah. Berbagai suku, agama, dan lapisan masyarakat dari seniman, aktivis, pekerja kantoran, bahkan warga asing hingga korban banjir Jakarta, pedagang asongan, dan tuna wisma sekalipun bercampur dan berlebur menjadi satu dalam suatu kenduri penuh cinta.
Gambar di bawah ini adalah foto nenek yang menurut saya seorang tuna wisma. Dengan sisa-sisa tenaganya nenek itu menikmati kacang rebus dan secangkir kopi panas pemberian pengunjung Kenduri Cinta lainnya. Tampak nenek ini tengah menatap sesuatu, entah apa yang ditatapnya. Mungkin diskusi yang didengarnya terlalu rumit untuk dicerna olehnya. Taken by Apit.
Topik yang dibahas pada Kenduri Cinta kali ini adalah "Menemukan Nilai, Merajut Makna ke-2 dengan tajuk Kelayakan untuk Diadzab". Acara ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat seperti seniman yang diwakili Cak Nun, Kang Sobary, rohaniawan Katolik yang diwakili oleh Romo Beny, juga dari akademik, Walhi, dan para aktivis lainnya.
lesehan barokah
Masing-masing pembicara dengan latar belakangnya memaparkan dan menjelaskan tentang sudut pandang mereka bagaimana bencana banjir ini terjadi dan disikapi. Dari semua pembicara itu, saya mencoba mengungkapkan kembali apa yang saya dapati dan saya cerna yaitu bahwa kita semua sedikit banyak turut andil terjadinya musibah banjir.
Jakarta sebagai pusat segala-galanya membuat laju urbanisasi tak tertahankan sehingga kepentingan kapitalis mampu mengalahkan berbagai norma dan peraturan. Budaya kita yang tidak menghargai alam pun turut andil. Membuang sampah sembarangan di kali dan sungai sehingga menjadi dangkal dan menyumbat aliran air.
Sangat disayangkan penguasa di negeri ini hanya bisa mengucapkan "Mereka masih bisa ketawa-tawa kok, jangan dibesar-besarkan!" atau "AKU sudah menggelontorkan makanan dan minuman". Seharusnya banjir rutin tahunan dan lima tahunan ini sudah diantisipasi dengan kerja nyata bukan dengan berlomba-lomba membuat pencitraan yang baik di hadapan para rakyat kecil ketika banjir sudah terjadi. Terjun ke daerah musibah membagi-bagi bantuan yang nilainya jauh lebih kecil dibandingkan dengan ongkos pencitraan yang dibuat penguasa tersebut (publikasi).
Namun, Cak Nun mengungkapkan seharusnya yang paling bertanggung jawab adalah para penguasa. Dan jika memang sebagian besar korbannya adalah rakyat kecil itu adalah bagian dari 'Wanhar' dalam surat al-Kautsar yaitu pengorbanan. Kata Cak Nun, Allah sungguh memuliakan Nabi Ismail yang disebut sebagai sembelihan-Nya. Ya Nabi Ismail dikorbankan oleh Nabi Ibrahim sebagai bentuk ketaatan atas perintah Allah. Cak Nun berharap jika memang akan terjadi banjir lagi, biarlah para penguasa saja yang merasakan. Karena memang selama ini mereka tidak pernah merasakan banjir apalagi penderitaan rakyat kecil yang berkepanjangan.
Sayang, mungkin karena ngantuk dan kurang menyimak, saya tidak dapat menangkap solusi yang ditawarkan pada diskusi tersebut. Banyak dari pembicara masih melihat sumber dan penyebab masalah dan siapa yang bertanggung jawab tanpa mencoba memberikan solusi. Mungkin, solusinya adalah instropeksi dari masing-masing kita untuk lebih bijaksana menghargai alam dan tidak mengeksploitasinya habis-habisan.
Seperti biasa, di Kenduri Cinta selalu diisi oleh renungang, doa, dan pegelaran seni dari berbagai aliran seni. Pada kali ini diisi oleh sholawatan, seni musik melayu, dangdut melayu, dan tentu saja penampilan mbah Surip. Berikut ini adalah rekamannya dalam bentuk citra digital. Semua foto diambil oleh kamera Nikkon D70 Apit.
Peserta larut dalam doa. Taken by Apit.
Forum diskusi (kanan ke kiri): Cak Nun , Kang Sobary, dan Romo Beny. Taken by Apit.
Penampilan Mbah Surip yang paling ditunggu-tunggu akhirnya tiba.
Salam khas Mbah Surip. "Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. I LOVE YOU FULL! Ha... ha... ha... ha..." Terlepas dari kaedah bahasa, bagi saya makna I love you full jauh lebih dalam dari ucapan I love you so much seseorang kepada yang dikasihinya ;-)
Penampilan ekspresif Mbah Surip
Istirahat sebentar hanya untuk mengantongi seekor anak kucing ya Mbah Surip? Taken by Apit.
Entah kucing ini panik atau tak tahan ingin ikut bergoyang di kantong ketika Mbah Surip berduet sambil berdendang Dangdut Melayu. Taken by Apit.
Dua ribu rupiah seciduk kacang rebus, guna menghidupi keluarga. Saya suka sekali sama foto ini. Keren banget Pit! Taken by Apit.
Insya Allah, sampai jumpa di Kenduri Cinta bulan depan. Bagi yang ingin ikut, istirahat yang cukup dulu sebelumnya, bawa pakaian hangat, dan selalu bawa payung. Maklum acaranya dari jam 8 malam hingga pagi dini hari.