Kanibalisme Masyarakat Kecil

Namanya Asep, lulusan SMA asal Tasikmalaya dan sudah dua tahun ini mencari nafkah di sekitar terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur. Berlatar belakang masalah ekonomi dan keluarga membuat lelaki berumur 32 tahun ini terpaksa hijrah ke Jakarta. Baginya Jakarta yang kejam dan keras setidaknya lebih baik dari kampung halamannya yang sama sekali tidak terdapat pekerjaan.

Pada masa awal kedatangannya di Kampung Rambutan, ia berjuang mengumpulkan uang dengan membersihkan bis, berjualan jeruk, dan menjadi pemulung plastik yang dihargai tiga ribu perak perkilogramnya. Pelataran masjid terminal menjadi tempat peristirahatan sementaranya di waktu malam. Itu pun resiko diusir dengan cara tidak santun sering didapat walau hujan sedang turun sekalipun. Kejam memang.

Waktu terus bergulir. Berkat kerja keras, Asep berhasil mengumpulkan setengah juta perak yang digunakannya sebagai uang pelicin agar diterima sebagai karyawan di pul Mayasari Bhakti Kampung Rambutan. Ia berpikir, tak apa-apalah mengeluarkan modal segitu toh teman-temannya harus menyiapkan uang pelicin yang sama dan bahkan lebih besar. Seorang teman Asep juga harus menyiapkan setengah juta perak hanya untuk menjadi kenek bis Kota. Ada juga teman Asep yang harus merogoh kocek sangat dalam untuk menyiapkan satu setengah juta hanya untuk bisa menjadi sopir bis. Lucunya, teman Asep yang polos lainnya harus sedia sejuta perak hanya untuk menjadi tukang sapu di sebuah mega mall.

Akhirnya ia diterima di bagian pemeriksaan bis yang pulang ke pul dengan gaji tiga ratus ribu perak sebulan. Sepetak kamar pun akhirnya mampu ia sewa dengan tarif seratus tiga puluh ribu per bulannya.

Waktu kerja Asep yang tidak penuh dimanfaatkan untuk memperluas pergaulannya. Para penjual asongan hingga kaki lima mulai mengenal dan familiar dengan sosok Asep yang tambun, gelap, dan berwajah sangat Sunda itu. Sesekali ia menjadi tukang pijat para sopir dengan bayaran sepuluh ribu sekali pijat. Selain mampu menghilangkan rasa lelah dan menyegarkan orang-orang yang dipijatnya, ternyata Asep mampu menyembuhkan penyakit kronis. Salah satu orang langganannya yang sakit darah tinggi sembuh setelah beberapa kali dipijat. Lambat laun semakin banyak orang di sekitar kos dan tempat kerjanya mengenal Asep sebagai tukang pijat. Namun masalah baru justru muncul. Tessy tetangga kamar kos petaknya ternyata sudah lama berprofesi sebagai tukang pijat. Jelas Tessy marah dan tidak suka dengan kehadiran Asep yang dianggap merebut lahan orang. Padahal bagi Tessy, Asep sudah memiliki pekerjaan tetap di pul Mayasari Bhakti. Ingin cari damai, Asep pun mengalah dan mulai menolak permintaan pijat.

Entah bagaimana awal mulanya, suatu hari Asep memenangi perkelahian dengan seorang pentolan preman Kampung Rambutan. Para pedagang menjadi senang dan segan dengan kehadiran Asep. Tindakan premanisme pun berkurang walau tidak bisa dikatakan hilang sama sekali. Bahkan Asep pernah diminta para pedagang untuk menjadi juru bicara mereka ketika aparat melakukan pembersihan besar-besaran para pedagang liar di Kampung Rambutan.

Usaha Asep gagal total mencegah tindakan tidak manusiawi tersebut. Lapak-lapak pedagang kaki lima dihancurkan, gerobak-gerobak makanan diangkut paksa, bahkan beberapa oknum aparat berbuat biadab. Setelah mengobrak-abrik dagangan, mereka mengambil uang yang berhasil dikumpulkan para pedagang itu. Asep marah bukan kepalang mengetahui seorang kakek tua yang sudah mendapatkan tiga ratus lima puluh ribu perak diambil seenaknya oleh seorang oknum keparat itu. Padahal uang sejumlah itu akan digunakan untuk membiayai berobat cucunya yang sedang sakit di Bogor. Namun Asep tidak berdaya akibat teman-temannya tidak memiliki nyali besar menghadapi para aparat yang jumlahnya banyak dan bersenjata tongkat pemukul lengkap.

Kejadian menyedihkan itu pun berlalu begitu saja sambil membawa luka dalam di hati para pedagang yang mulai berani berdagang secara ilegal di terminal Kampung Rambutan. Kehidupan mulai 'normal' di sana menunggu operasi pembersihan berikutnya.

Suatu hari seorang rekannya menawarkan Asep pekerjaan yang lebih layak. Asep ditawarkan menjadi seorang petugas keamanan pemadam kebaran. Tapi ia tidak diangkat menjadi pegawai negeri melainkan pegawai yayasan. Gaji enam ratus ribu perak yang dua kali lipat lebih banyak dari gajinya di pul Mayasari Bhakti membuat Asep langsung menerima ajakan temannya itu. Baginya tawaran pekerjaan itu merupakan kesempatan langka dan sangat baik.

Berbekal ijazah SMA, Asep mengikuti berbagai tes hingga akhirnya mencapai tahap akhir yaitu wawancara. Ternyata Asep kembali menemukan pil pahit berupa kenyataan bahwa ia harus menyiapkan sejuta perak agar diterima. Ia diberi batas waktu oleh oknum pewawancara tersebut hingga tanggal tertentu untuk menyerahkan uang pelicinnya. Apabila tidak dapat dipenuhi maka tempat Asep akan diisi orang lain yang sanggup membayar. Asep menyanggupi permintaan oknum tersebut karena baginya pekerjaan tersebut merupakan batu loncatan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Ia kembali banting tulang, hingga sehari batas waktu yang ditentukan Asep baru mendapatkan tiga perempat juta. Ia masih harus mencari seperempat juta lagi agar dirinya mulus diterima.

Hingga akhirnya tadi malam, Asep - saudara angkat saya - datang berkunjung ke rumah mengutarakan niatnya untuk meminjam sisa uang seperempat juta tadi. Asep bercerita panjang lebar tentang perjuangannya selama dua tahun hidup di daerah terminal Kampung Rambutan. Kami pun mengobrol dan berdiskusi. Mengetahui Asep memiliki bakat menolong orang yaitu memijat, saya pun memutuskan untuk tidak memberikan pinjaman seperempat juta itu. Saya usulkan untuk mencoba bernegosiasi terlebih dahulu dengan oknum tersebut agar mau menerima tiga perempat juta saja. Dan sebuah solusi dicoba ditawarkan kepada Asep agar menjadi seorang tukang pijat profesional. Kebetulan Bu Yati - seorang tukang pijat langganan keluarga - mengaku kekurangan banyak tenaga pemijat guna memenuhi kebutuhan pelanggannya yang semakin banyak. Apalagi pelanggan Bu Yati ada orang-orang 'Besar'. Sebutlah dua di antaranya mantan Presiden RI Megawati dan Raja Dangdut Indonesia Rhoma Irama *teeeeeeeet ngikutin suara gitar patahnya*. Toh dengan menjadi karyawan Bu Yati, Asep tidak harus bergelut dengan Tessy tetangganya karena daerah operasi Asep pasti berbeda dan lebih luas dari daerahnya Tessy.

Nah Asep, perjuangan hidupmu akan memasuki babak baru. Jika memang jodoh, dengan uang tiga perempat juta, om oknum keparat itu mau menerima Asep menjadi karyawan pemadam kebakaran. Atau jika nasib berkata lain, semoga Bu Yati dapat segera mempekerjakan kamu menjadi ahli staf pijatnya. Tapi jujur saja, saya lebih senang kamu jadi seorang tukang pijat profesional. Kalau kamu cerdas bukan tidak mungkin lama-lama akan memiliki jaringan sendiri dan membuka cabang-cabang di banyak kota besar. Atau setidaknya, mudah-mudahan kamu bisa keluar dari jaring-jaring kanibalisme yang mengakar di masyarakat jika masih saja mengharapkan bekerja pada suatu instansi pemerintah.

Asep, asyik juga ya jadi saudara angkat kamu. Mudah-mudahan keadaan menjadi lebih aman jika berada di Kampung Rambutan dengan cukup menyebut 'ASEP DOLE' sama preman-preman dan pedagang di sana.